BURAM PEMBANGUNAN PERBATASAN
Buram
Pembangunan Perbatasan
Karut marut pembangunan perbatasan
tak lepas dari buruknya sistem pembangunan dan koordinasi antarinstansi
pemerintah. Pembangunan perbatasan kian terabaikan.
- Muhlis Suhaeri / Arwani
- 16 September 2011
Kawasan
perbatasan di Kalimantan Barat sangat spesifik dibandingkan dengan perbatasan
lain. Kalimantan Timur juga spesifik. Sebab, perbatasan di kedua wilayah
tersebut berhadapan dengan negara lebih maju, Malaysia. Sehinga harus ada
penanganan secara lebih.
Berdasarkan
grand desain, BNPP menetapkan beberapa metode pendekatan penanganan
perbatasan. Mulai dari tahapan penentuan patok batas hingga manajemen
perbatasan. Lalu menerjemahkan dan membuat dua strategi penanganan. Pertama,
internal Indonesia, termasuk internal di Kalbar. Kedua, strategi penanganan
mulai dari patok batas hingga ke luar wilayah RI. Karena itu, mesti melakukan
komunikasi intensif dan perundingan internasional dengan Malaysia. “Untuk
menjawab segala permasalahan yang ada,” kata Manto.
Pembenahan
internal selama ini sudah dilakukan kementerian dan dinas. Namun, karena tidak
ada koordinator yang spesifik dan fokus, masalah perbatasan seolah-olah
terlupakan.
Manto
menyebutkan contoh Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Setiap tahun PU
mengeluarkan dana ke kawasan perbatasan, tapi mengucurkan dana ke tempat lain
juga. Sehingga seolah perbatasan ditinggalkan. Padahal, PU sebenarnya
memberikan dana yang sama porsinya dengan daerah lain. Bila PU memberikan
kucuran dana ke perbatasan Rp 100 miliar, itu ibarat mengucurkan satu ember air
ke gurun pasir. Padahal, kalau Rp 1 miliar dikucurkan di Kota Pontianak,
misalnya, akan terlihat dampaknya. Hal itu bukan karena Pontianak lebih sempit
wilayahnya, tapi karena ketertinggalan pembangunan di kawasan perbatasan
sedemikian jauh. Sehingga dengan porsi yang sama, kawasan perbatasan tidak sama
dengan kucuran dana seperti itu. “Harus ada political will di
perbatasan,” katanya.
Padahal,
iktikad baik tersebut baru tahun ini terlaksana. Para pejabat BNPP baru
dilantik pada April 2011. Mereka terdiri atas orang-orang cerdas dari berbagai
disiplin ilmu dan departemen.
Orang
pusat dari berbagai departemen meminta masukan dari berbagai pihak dan
diterjemahkan dalam konteks Kalbar. Grand design baru ada tahun 2011.
Konsep itu belum tersosialisasi ke media. Salah satu konsep priority by location
atau prioritas berdasarkan lokasi. Artinya, dengan dana terbatas, pembangunan
perbatasan harus fokus pada titik tertentu saja. Tidak bisa sama rata seperti
sekarang ini. Ada lima lokasi prioritas mewakili satu kabupaten. Pertimbangan
lokasi prioritas itu kawasan lain terpaksa dikorbankan demi satu lokasi
prioritas tersebut.
Lokasi
prioritas mengacu pada keputusan pemerintah dan kebijakan Pusat Kebijakan
Stategis Nasional (PKSN). Di Kalbar ada lima PKSN, yaitu Aruk di Kabupaten
Sambas, Jagoi Babang di Kabupaten Bengkayang, Entikong di Kabupaten Sanggau,
Jasa di Kabupaten Sintang, dan
Pemprov
Kalbar menetapkan lima PKSN sebagai wilayah Border Development Centre (BDC).
Pemerintah pusat menyebutnya PKSN, pemerintah daerah menyebutnya pos lintas
batas (PLB). Dalam menetapkan prioritas lokasi di Kabupaten Sambas ada
perbedaan dengan PKSN dan BDC. PKSN seharusnya menetapkan di Sajingan Besar.
Setelah menimbang potensi ekonomi dan konflik antarnegara, BNPP menetapkan Paloh
dibuka pada 2011.
Di
Paloh ada dua kemungkinan konflik internasional yang terjadi di darat dan laut.
Di darat terjadi di Camar Bulan. Ada patok yang sudah ditetapkan dua negara,
namun akan merugikan Indonesia. Kerugiannya ada puluhan ribu hektare. Ada juga
pengembangan gas Natuna. Konflik laut terjadi di Gosong Niger.
“Kalau
kita tidak bisa mengomunikasikannya, dikhawatirkan terjadi seperti (sengketa
perbatasan) di Ambalat, Kaltim,” kata Manto.
Dari
lima PLB yang direncanakan baru tiga yang selesai secara fisik dan SDM, yaitu
di Entikong, Aruk, dan Nangan Badau. Dua lainya, Jagoi Babang dan Jasa masih
memerlukan satu tahapan penting, yaitu penetapan zero point atau titik
nol. Dalam perspektif awam, titik nol adalah titik batas. Titik nol sebenarnya
untuk menyepakati pertemuan dua jalan raya antara Indonesia dan Malaysia. Tanpa
persetujuan dari dua negara, hal itu belum dapat dilaksanakan.
Gubernur
Kalbar Cornelis melaksanakan peletakan batu pertama pembangunan PLB di Jagoi
Babang. Padahal, kedua negara belum menyepakati titik nol. Dia melakukannya
berdasarkan aspirasi masyarakat Jagoi Babang sebagai lintasan resmi. Tahapan
resmi suatu daerah bisa dijadikan pos lintas batas bila sudah ada penempatan
petugas, tempat, dan keputusan dua negara menjadikan sebagai PLB internasional.
Kalimantan
Barat punya 16 PLB tradisional. Orang bisa masuk dalam radius 5 kilometer dari
kota yang disebutkan, tanpa menggunakan paspor. Orang menyebut PLB tradisonal
sebagai jalan tikus, setapak, pintas, atau pendekat. Sebenarnya ada sekitar 52
jalan pendekat. Tapi kedua negara tidak menyepakati semua jalan. Dulu, hanya 10
jalan yang disetujui.
Dari
16 PLB tradisional, lima akan ditingkatkan statusnya menjadi PLB internasional.
Malaysia
belum berencana membuat lima PLB internasional. Yang terlihat baru empat. Tiga
sudah diimplementasikan, yaitu Aruk, Entikong, dan Badau. Sudah ada perjanjian.
Jagoi Babang sebatas informal. Jasa belum ada pembicaraan. Malaysia belum
berencana. Infrastruktur Jasa belum jauh ketinggalan. “Malaysia belum merencanakan
membuka PLB di Jasa, karena infrastrukturnya belum siap,” kata Manto.
Dari
lima PLB, Jasa paling tidak siap dari segi infrastruktur. Dari Jasa ke calon
lintas batas di Sungai Kelik belum ada jalan. Hanya bisa jalan kaki. Itu pun
melewati kawasan hutan lindung. Ini juga menjustifikasi kenapa pemerintah belum
bisa membangun ruas jalan di sana. Secara teoretis bisa membangun jalan. Namun
prosedurnya luar biasa rumit, sehingga sampai saat ini belum bisa dilakukan.
Yang
harus dilakukan, pemerintah melalui Kementerian PU harus menetapkan status
jalan tersebut. Menteri bisa menetapkan apa pun status jalan tersebut. Tapi
karena jalan itu kondisinya masih nol, perlu dana besar. Sedangkan APBD Kalbar
sulit melakukannya.
Membuat
jalan raya perbatasan bertaraf internasional butuh dana Rp 6,5 miliar per
kilometer. Selama ini, dari berbagai proposal yang pernah diajukan PU,
pembangunan jalan hanya Rp 3,5 miliar per kilometer. Dengan usulan Rp 3,5
miliar pun pemerintah pusat jarang setuju. Kebijakan pemerintah saat ini lebih
menekankan pada panjang jalan daripada kualitas.
Untuk
menyiasati pembangunan jalan, ada beberapa hal bisa dilakukan. Misalnya dengan
menggandeng pihak ketiga. Pemerintah memberikan konsesi hak pengusahaan hutan
(HPH) atau perkebunan. Sebagai imbalannya, perusahaan swasta itu harus
membangun jalan.
Cara
lain, pemerintah provinsi dan kabupaten mengandeng pihak asing. Pemprov Kalbar
pernah memancing dana asing. Misalnya dengan Japan International Cooperation Agency
(JICA) dan Asian Development Bank (ADB). Contoh dana ADB yang masuk ke
perbaikan jalan misalnya jalan Simpang Tayan dan Simpang Sosok. Juga jalan dari
Simpang Tanjung ke Entikong. Jalan di Sebangkau ke Aruk di Sambas serta jalan
dari Putussibau ke Nanga Badau.
Sekarang
ini cara memperoleh dana pembangunan dengan melobi ke pusat atau kementerian di
Jakarta agar dana bisa masuk ke daerah. Ketika pemerintah pusat melalui
kementerian tidak mau mengucurkan dana, daerah tidak bisa memaksakan kehendak.
Sistem
dan melanisme di pemerintahan turut membuat rancu pembangunan perbatasan.
Selama ini struktur organisasi pemerintahan dibagi secara regional dan
sektoral. Karena itu ada departemen, dinas, dan badan di provinsi. Ada fungsi
bidang ekonomi, PU, pemberdayaan, dan lainnya.
Pada
praktiknya badan perbatasan dibuat tidak berdasarkan fungsi tersebut, tapi
dibentuk berdasarkan fungsi kawasan. Yang namanya kawasan perbatasan, semua
departemen, dinas, badan masuk semua fungsinya ke perbatasan. BNPP menangani
kawasan yang fungsinya sektoral. Ketika hendak menangani fungsi sektoral
tersebut, orang di dinas provinsi ada yang keberatan.
Hal
itu membuat dilematis. Sebab tidak diizinkan terjun langsung. Padahal, jika
tidak mengerjakan itu, instansi lain tidak menggarapnya. Akhirnya telantar
lagi. “Ini mengenai mekanisme pemerintahan yang perlu dikoreksi, “ kata Manto.
Menurut
Manto, BNPP harus diberi kewenangan atau intervensi terhadap pekerjaan sektoral
yang terabaikan. Jika tidak terabaikan, BNPP tidak perlu masuk. Karena itu
urusan dinas. Pemerintah mesti bergerak sesuai dengan grand design yang
dibuat, dan tidak terdistorsi kepentingan politik. Political will harus
sesuai perencanaan. “Sesungguhnya kawasan perbatasan masih punya masa depan.”
Ketua
DPRD Kalbar, Minsen, mengatakan kondisi di perbatasan tak beda jauh dari
wilayah pedalaman Kalimantan pada umumnya. Ada skala prioritas dalam
pembangunan. Skala prioritas itu yang mesti dibenahi. “Pemerintah provinsi dan
Dewan sudah berusaha mengalokasikan dana ke sana.”
Saling
tuding dana pembangunan perbatasan terjadi antara Gubernur Cornelis dan Bupati
Sintang Milton Crosby. Saat keduanya kampanye untuk pemilihan bupati Sintang,
tahun 2010, Cornelis menjanjikan dana Rp 25 miliar untuk pembangunan jalan di
perbatasan. “Saat kampanye ada janjikan bantuan pembangunan jalan Rp 25
miliar,” kata Widianto.
Pemerintah
terlalu banyak berjanji membangun jalan. Tahun 2008, pemerintah berjanji
membangun jalan dari Senaning ke Nanga Bayan. Panjang jalan itu 5,900 meter
dari dusun Sebujan. Tapi jalan tak dibangun. Tahun 2008, pemerintah juga
berjanji membangun jalan dari Dusun Semujan ke Sungai Kelik. “Ketika warga
menanyakan kepada bupati, dananya untuk daerah lain,” kata Widianto.
Tahun
2009 Pemda Sintang menjanjikan lagi, tapi tak jadi. Tahun 2010, saat kampanye
juga dijanjikan, tapi tak jadi. Tahun 2011, Wakil Bupati berjanji akan
menembuskan jalan dari Sungai Kelik ke Semujan. Panjang jalan itu sekitar 6
kilometer. Pembangunan jalan itu butuh dana sekitar Rp 700 juta. Jalan itu
belum ada jalur.
“Kita
merasa terisolir dan tak pernah dikunjungi. Masyarakat mengancam tidak akan
memilih dalam pemilihan apa pun,” kata Widianto.
Tahun
2011 pemerintah pusat kembali memberikan dana bagi pembangunan jalan di
perbatasan. Besarnya Rp 19 miliar. “Sekarang sedang tender,” kata Cornelis.
Mengenai dana Rp 25 miliar bagi jalan perbatasan pada 2010, Cornelis minta
Bupati Sintang menjelaskannya.
Dalam
sebuah konferensi pers, Bupati Sintang Milton Crosby mengatakan pembangunan
perbatasan tanggung jawab semua pihak. Tidak boleh saling menyalahkan.
Pemerintah pusat telah memberikan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada pembangunan
Kecamatan Ketungau Hulu dan Tengah sebesar Rp 7 miliar. Khusus Ketungau Hulu
yang menjadi prioritas berdasarkan lokasi, pemerintah pusat telah memberi
bantuan Rp 5 miliar. Saat ini APBD Sintang setiap tahun Rp 700 miliar.
Dari dana itu yang bisa dilakukan untuk pembangunan fisik hanya Rp 250
miliar.
Menurut
Milton, dana tahun 2010 Rp 15 miliar. Dana itu merupakan dana Penyesuaian
Infrastruktur Daerah (DPID). Dana digunakan bagi pembangunan semua kecamatan di
Sintang. “Bukan khusus bagi pembangunan jalan di perbatasan.”
Tak
beda jauh dari Sintang, Kabupetan Sambas juga mengalami hal sama. Yoelyanto,
Kasubid Bina Marga Pengairan, ESDM Kabupaten Sambas, mengatakan Sambas hanya
punya Dana Alokasi Umum (DAU) Rp 700 miliar untuk 183 desa. “Karena itu
pembangunan jalan dan infrastruktur di Sambas sangat minim.” Masih banyak jalan
terbuat dari semen dan tanah. Bahkan Selakau dan Galing masih terisolasi.
Khusus
kawasan Temajo yang merupakan wilayah strategis dari segi pertahanan dan
keamanan, pemerintah pusat sebenarnya sudah merencanakan pembangunan jalan
paralel perbatasan sepanjang 966 kilometer. Jalan itu membentang sepanjang
perbatasan Indonesia - Malaysia. Mulai dari Temajo dan Aruk di Kabupaten
Sambas. Jagoi Babang di Kabupaten Bengkayang. Entikong dan Balai Karangan di
Kabupaten Sanggau. Senaning di Kabupaten Sintang. Putussibau dan Nanga Badau di
Kabupaten Kapuas Hulu. Pembangunan jalan itu diperkirakan butuh dana Rp 5,6
triliun.
Dalam
setiap Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional hal itu selalu diajukan. Tapi
daerah hanya mengusulkan. Pemerintah pusat yang punya dana dan
merealisasikannya. “Kami inginkan realisasinya 2012,” kata Yoelyanto.
Tujuan
pembangunan jalan tak hanya memperlancar berbagai aktivitas ekonomi warga.
Pembangunan jalan turut menjaga perbatasan dan keamanan negara. Marwah negara
tentu saja menjaga keamanan. Pembangunan jalan juga membuka keterisolasian dan
meningkatkan sarana dan prasarana.
“Dengan
adanya jalan bisa meningkatkan ekonomi warga,” kata Yoelyanto.
Manto
Saidi menjelaskan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) di provinsi
sudah setuju. Tapi, pemerintah pusat masih ada yang setuju dan tidak.
Jalan
paralel sepanjang perbatasan diidentifikasi dari ratusan status jalan. Ada yang
berstaus jalan AMD, jalan sawit, jalan kabupaten, dan lainnya, sehingga menjadi
jalan paralel perbatasan. Kapan mulai dibangun?
“Waallahu
alam,” kata Manto.
Pembangunan
perbatasan merupakan hal yang harus dilakukan. Selain meningkatkan pembangunan
ekonomi warga, tentu menjaga keindonesiaan warga yang tinggal perbatasan. (Selesai)
Foto-foto:
VHRmedia / Muhlis Suhaeri
0 Response to "BURAM PEMBANGUNAN PERBATASAN"
Posting Komentar