Kenangan Yang Mengajarkan Ku Arti Sebuah Kehidupan

Kenangan Yang Mengajarkan Ku Arti Sebuah Kehidupan

Cerpen Karangan: 
Kategori: Cerpen KeluargaCerpen MotivasiCerpen Pengalaman Pribadi
Lolos moderasi pada: 23 December 2015
Namaku Imelda, lahir di Sambas, Kalimantan Barat. Tepatnya di desa Pandawan, kecamatan Tangaran, Sambas, Kalimantan Barat pada tahun 1996. Aku terlahir dari pasangan Hipkan dan Kartina. Aku adalah anak kedua dari empat bersaudara. Kakak pertama aku bernama Mamansyah, Adik ketiga bernama Ariadi sedangkan Adik bungsu aku bernama Yudi Febiadi. Secara materi kehidupan keluargaku sangat sederhana, bahkan sangat miskin sekali. Aku dan saudara-saudaraku sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Meski demikian kehidupan yang kami jalani mengajarkan kami untuk selalu bekerja keras, serta optimis untuk mencapai suatu tujuan.
Sering aku merasa iri melihat teman-teman di sekelilingku hidup berkecukupan, dapat berbelanja pakaian setiap saat, makan makanan enak dan tinggal di hunian yang layak. Tetapi, lain halnya denganku yang hidup dalam keterbatasan, tak dapat berbelanja pakaian bahkan di kala saat lebaran, makan seadanya, dan hanya tinggal di gubuk yang ala kadarnya. Meski demikian kemiskinan tidak harus meminta-minta untuk dikasihani melainkan harus dihadapi dengan bekerja dan berusaha.
Ayah aku pernah berkata, “jangan sesekali menyesali keadaan, karena di balik kondisi yang dialami tersimpan berjuta hikmah untuk terus digali dan diusahakan serta jangan pernah ikut-ikutan gaya orang yang telah mampu apalagi sampai berhutang. Tetapi, jika kamu ingin hidup layak maka tetaplah berhemat, dan bekerja keras hingga tujuan hidupmu tercapai.” Begitulah prinsip yang kami pegang.
Kehidupan kecil kami sangat bahagia. Berkumpul bersama keluarga adalah hal terindah dalam kehidupanku. Apalagi pada saat dimana Nenek masih ada di tengah-tengah kehidupan kami, tetapi tepat tanggal 11 November 2004 Nenek dari Ayahku pergi untuk selama-lamanya menghadap sang khalik. Kala waktu itu aku duduk di kelas 2 SD. Karena kami pada awalnya tinggal berpindah-pindah dikarenakan berbagai faktor maka kali ini pun kami terpaksa pindah kembali ke daerah terpencil tepatnya di dusun Pinang Merah, desa Simpang Empat, kecamatan Tangaran, kabupaten Sambas.
Pada awalnya Ayah dan Ibu aku membina rumah tangga ia membangun rumah di dusun Pinang Merah. Tetepi, pada suatu siang yang terik kala Ibu aku sedang tidak berada di rumah si jago merah telah melahap rumah kami hingga tak ada satu pun yang tersisa. Pada waktu yang bersamaan Ibu aku sedang hamil besar dan kami kala waktu itu masih dua bersaudara. Sedangkan Ayah aku sedang merantau untuk bekerja. Maka, untuk sementara kami tinggal bersama Kakek dan Nenek. Tetapi, Kakekku memiliki sifat arogansi dan kasar. Maka, Ibu dan Nenek dibantu orang-orang kampung mencari tempat tinggal untuk kami.
Alhamdulillah, berkat usaha dan kerja keras kami berhasil mendapatkan tempat tinggal tepatnya di asrama sekolah. Pada saat itu, komunikasi sangat sulit dilakukan. Maka, Ibuku pun tidak dapat menceritakan hal ini kepada Ayah. Bahkan, Ibuku melahirkan Adik sampai akhirnya Adik aku meninggal di usia empat puluh hari sekali pun Ayah tidak Ibu beritahu. Hal ini bukan tanpa alasan, Ibu tidak ingin Ayah merasa sedih dan terpukul sebelum ia pulang ke kampung halaman. Akhirnya, dengan permintaan Ibu dan Nenek Ayah pun pulang secepatnya. Ayah pulang dengan kehampaan, saat beliau mengetahui berita duka tentang kematian putra yang ia nanti-nantikan.
Seiring waktu terus berjalan, berbagai masalah terus berdatangan. Belum selesai keperitan yang terbekas karena sederetan musibah yang menimpa keluarga kami. Sekarang, Ibu dihadapkan kembali dengan musibah baru yang menguji kesabarannya. Ayah menderita lumpuh total dan rastung hidung yang menyita perhatian Ibu. Berkat kesabaran dan keikhlasan Ibu memberi perhatian yang tulus terhadap Ayah, maka Allah s.w.t. pun memberi kesembuhan atas Ayah.
Pada saat yang bersamaan asrama sekolah ingin ditempati guru yang mengajar di SD terdekat. Hingga, dengan sangat terpaksa kami harus pindah mencari tempat tinggal baru. Hal ini juga berdampak pada sekolah Kakak sulungku yang acapkali berpindah-pindah. Akhirnya, dengan kesepakatan Ibu dan Ayah memutuskan untuk tinggal sementara di dusun Pandawan. Masa anak-anak yang aku dan Kakakku lalui sangat bahagia.
Tetapi, jalan kehidupan terkadang tak dapat diprediksi. Terkadang kita terpaksa menghadapi hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Begitu juga kehidupan yang kami lalui penuh dengan tantangan dan permasalahan yang silih berganti. Berhubung terjadi salah paham antara kami dan Nenek tiriku maka, Ayahku mengambil langkah untuk pindah sebagai langkah untuk memulihkan keadaan.
Setelah beberapa hari kemudian kami pun pindah ke dusun Arung Kuang, desa Simpang Empat, Tangaran, Sambas, Kalimantan Barat. Di sini kami menumpang di rumah Nenek Sanor -Ibu dari Ayah- untuk sementara waktu. Dengan demikian, secara otomatis sekolah Abangku pun ikut pindah. Tepat di tahun 2002 ini Ibuku sedang kembali melahirkan Adikku yang ketiga hidup, aku masuk sekolah dasar, dan abang aku duduk di kelas tiga SD. Hampir kurang lebih satu tahunan kami tinggal di daerah ini. Berhubung Ayah aku merasa sudah tiba waktunya untuk membangun gubuk sederhana dan mengelola tanah milik sendiri yang ada di dusun Pinang Merah. Maka, secepatnya pun kami pindah kembali ke dusun Pinang Merah. Di sini, untuk tahap awal kami menumpang di pondok kebun milik Paman -Adik Ayah.
Setelah, Paman menjual tanahnya maka kami pun berusaha membuat rumah sendiri yang berbahan dasar kayu mentah hasil hutan tempatan. Memang ia tak sekokoh rumah-rumah pada umumnya, ia hanya mampu bertahan selama lebih kurang tiga tahunan. Sedangkan untuk selanjutnya, kami tak memiliki rumah. Alhamdulillah, di tengah-tengah kebingungan kami ada seorang warga yang berbaik hati mau menumpangi kami tempat tinggal. Selama lebih kurang tiga tahunan kami menumpang di rumah beliau. Setelah beberapa waktu, Ayahku merasa tidak enak jika terus menumpang padanya.
Akhirnya, Ayah kembali membuat gubuk berbahan dasar kayu mentah hasil hutan tempatan yang merupakan sisa-sisa kayu yang diolah warga lain. Seiring waktu berjalan Ayahku, Ibuku, dan Kakak sulungku terus berusaha mendirikan hunian yang layak. Berkat usaha dan kerja keras mereka, kami berhasil mendirikan fondasi rumah yang lumayan kokoh. Meski, untuk lantai dan dindingnya masih ala kadarnya karena kami kehabisan modal. Rumah kami didirikan pada tahun 2011 dan masih kami tempati hingga saat ini.
Kepindahan kami ke dusun Pinang Merah ini merupakan tantangan berat yang aku rasa. Dimana, aku harus menyesuaikan diri dengan kondisi baru. Kondisi dimana sangat jauh berbeda dengan tempat-tempat tinggal kami sebelumnya. Di kampung ini listrik belum masuk, sedangkan Tata surya baru ada di tahun 2009, jarak rumah-rumah warga relatif berjauhan. Setiap hari aku dan Kakak sulung aku harus menempuh jarak antara rumah dan sekolah hingga lima kilometer dengan berjalan kaki atau bersepeda jika kondisi jalan memungkinkan. Kami merasa sangat kecapaian, bahkan tak jarang kami mampir ke rumah warga untuk meminta air putih apabila persediaan air putih kami habis.
Setibanya di rumah, kami kembali disibukkan dengan kesibukan-kesibukan lain. Aku mengasuh kedua Adikku, membereskan rumah, menimba air, dan mencuci pakaian. Sedangkan Kakak sulungku membantu Ayah dan Ibuku di sawah. Kami melakukannya dengan penuh tanggung jawab. Meskipun demikian aku tidak mengabaikan tugas-tugas sekolah, sebisa mungkin aku menyempatkan diri untuk mengulang pelajaran di rumah. Akhirnya, berkat usaha yang aku lakukan aku berhasil menjadi bintang kelas di setiap akhir semester, bahkan aku selalu terpilih sebagai siswa yang mewakili sekolah. Di antaranya sempat mewakili sekolah pada kelas IV SD sebagai siswa teladan tingkat kecamatan, mengikuti Olimpiade IPA dan memboyong predikat juara pertama tingkat gugus dan akhirnya dikirim ke tingkat kecamatan dan hanya berhasil memperoleh juara tiga.
Setelah menamatkan SD di SDN.39 Pinang Merah, aku melanjutkan sekolah ke SMP NEGERI 1 Tangaran yang berlokasi di dusun Parit Merdeka. Untuk mencapainya, aku harus mengayuh sepeda lebih kurang dua setengah jam dengan kondisi jalan yang memprihatinkan. Sehingga, untuk mengefektifkan waktu aku harus berangkat sekolah dari rumah pukul 04.00 wib dini hari melewati lorong-lorong yang gelap dan kecil sesekali diselingi rumah warga. Jika cuaca tak mendukung maka aku berangkat menggunakan baju biasa dan nyeker tanpa sepatu. Senter, jas hujan, dan kantong kresek adalah teman setia yang menemani perjalananku. Meski demikian aku sangat bahagia dan menikmatinya.
Kondisi ekonomi membuat Ayahku harus merantau ke Negara jiran “Malaysia” sama halnya dengan Kakak sulungku yang berhenti sekolah pada kelas IV SD. Setelah sekian lamanya Kakak sulungku bekerja ke sana ke mari mencari rejeki maka ia pun memutuskan untuk pergi kerja ladang ke Malaysia bersama Ayah. Pada ketika itu, aku, dua Adikku, dan Ibuku yang tinggal di kampung halaman. Sebagai anak tertua, sekarang aku mulai memahami keperitan hidup yang Ibuku jalani untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini berhasil mengubah pola pikirku, setiap hari pun aku membawa bekal makanan dan ketika hendak perjalanan menuju sekolah tepat di pondok berdekatan dengan sawah kami aku menyimpan bekal di sana. Lalu meneruskan perjalanan menuju sekolah kembali.
Begitu sepulang sekolah, aku kembali ke pondok itu lalu memakan bekal aku dan setelah itu aku bekerja di sawah hingga hampir maghrib baru bertolak pulang ke rumah begitulah setiap harinya. Aku terus berusaha membantu orangtuaku di kala ada waktu mulai dari ambil upahan di ladang orang, jualan petai, sayuran, hingga memanjat kelapa pun aku lakukan asal pekerjaan itu menghasilkan dan halal. Sampai suatu ketika terjadi hal yang terus aku ingat hingga detik ini dimana pada waktu itu, Ibu sama sekali tidak mempunyai uang sepeser pun maka aku mengambil inisiatif untuk menjual kelapa cungkit basah.
Sepulang sekolah setelah selesai makan siang dari bekal yang aku bawa aku bergegas menuju kebun kelapa untuk menurunkan buah kelapa yang tua satu persatu setelah selesai menurunkan buahnya maka aku mengumpulkan, membelah, mengupasinya, dan mencucinya lalu memasukkannya ke dalam karung setelah itu membawanya ke tempat penjualan. Tetapi cuaca pada saat itu sangat mendung, sehingga aku tidak menyadari kalau hari sudah malam. Hujan mengguyur dengan derasnya kala waktu itu sambil sesekali petir dan kilat menyapa. Dengan langkah pelan tapi pasti aku menyeret sepeda sembari membawa kelapa untuk dibawa ke tempat penjualan.
Di tengah sayup-sayup kegelapan malam yang hujan, kurang lebih pukul 07. 30 aku tiba di tempat penjualan kelapa. Maka, orang itu pun menawari aku untuk menginap di rumahnya. Tetapi aku menolak dengan nada halus bahwa aku harus segera pulang karena khawatir Ibu mencemaskan keadaanku. Setelah menerima uang dari hasil penjualan kelapa cungkit pun aku bergegas pulang. Aku ingat sekali, kelapa yang aku bawa pada waktu itu sekitar 70 kiloan lebih sementara harga per kilo kelapa cungkit basah pada waktu itu berkisar antara Rp. 800,- hingga Rp. 1000,-.
Setibanya di rumah aku mendapati kondisi rumah dalam keadaan gelap-gulita. Suasana hati aku mulai bercelaru, berbagai hal mulai bermain di benakku kala waktu itu membuyarkan rasa capai yang ku rasa. Dengan napas memburu aku berlari menuju rumah tetangga lain yang ada penghuninya seraya mencari informasi ke manakah gerangan Ibu dan Adik-adikku? Lalu, ia pun menjawab Ibumu sedari tadi selepas maghrib menangis seraya berjalan mencarimu. Lalu aku pun berlari kembali menuju rumah keluarga yang ada untuk mendapatkan informasi tentang Ibuku yakni ke rumah pakcik pawi.
Di sana, aku mendapat info bahwa Ibuku pergi menyusulku ke kebun kelapa karena mencemaskan keadaanku. Aku mulai menangis dan menyesali tindakanku yang telah menyusahkan banyak orang. Lalu, aku bergegas hendak berlari menyusul Ibu. Namun, pakcik Pawi dan Pakngah Bujang Taha menghalangiku. Mereka menyarankan, “sebaiknya kamu menunggu saja di sini berhubung badanmu telah terlalu cape dan jarak dari sini ke kebun kelapa itu lumayan jauh.” Akhirnya, aku pun mengikuti saran mereka.
Tak lama setelah itu, kira-kira pukul setengah Sembilan Ibu ditemani Ngah Titik pun tiba. Tampak dari kejauhan aku melihat wajah cemas, lesu, sedih, dan kesal terukir di wajah Ibuku tercinta. Sontak aku berlari sembari memeluknya dan meminta maaf atas tindakanku. Maka, ia pun menangis seraya memukuli aku dan berkata, “jangan pernah melakukan hal yang mencemaskan kami semua seperti ini lagi,” lalu aku pun mengangguk sembari berkata, “Ibu, ini uang hasil usahaku hari ini.” Ibu tersenyum bangga padaku seraya memelukku sesekali menangis. Setelah peristiwa itu, aku selalu berusaha untuk tidak pulang terlalu sore dari sawah ata ladang. Sebagai langkah berjaga-jaga aku setiap hari membawa jam.
Pada saat kelas VIII SMP aku memutuskan untuk tinggal bersama orang di dusun Parit Merdeka. Untuk semester pertama aku berhasil memboyong peringkat dua di kelas. Sementara, menjalani semester dua aku diserang thypus kronis yang membuatku tidak bisa melanjutkan sekolah. Lalu aku berhenti bersekolah di SMP Negeri 1 Tangaran dan menganggur kurang lebih 6 bulan dan bersekolah kembali di SMP Negeri 2 Satu Atap Tangaran hingga tamat. Setelah tamat SMP, aku melanjutkan SMA ke SMAN 1 Bengkayang dan tinggal bersama Pamanku. Aku berjanji apapun yang terjadi aku akan berusaha menggapai dan meraih cita-citaku demi untuk membahagiakan orang-orang tercinta.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kenangan Yang Mengajarkan Ku Arti Sebuah Kehidupan"

Posting Komentar