Simponi Masa Kecil
Simponi
Masa Kecil
Tertatih dan merangkak mencapai asa
Hingga lupa jalan pulang
Dan tujuan akhir segala pencapaian
Sebenarnya apa yang meski kuperjuangkan?
Masa kecilku mungkin di cemburui banyak orang. Aku hidup
dengan penuh rasa cinta kasih dan perhatian. Dibesarkan dalam lingkungan
keluarga sederhana tak telak menjadikanku kekurangan kasih sayang. Keadaan perekonomian
yang serba kekurangan tak sedikit pun mengurangi rasa kasih sayang yang
diberikan pada kami anak-anaknya. Meski jatuh bangun ibu dan bapak harus bekerja
di sawah turun subuh pulang kembali setelah matahari terbenam tapi kami sangat
menikmati peran kami masing-masing. Ayah sesekali juga sering bepergian
merantau bekerja ke luar kota untuk sedikit mengumpulkan rupiah demi mencukupi
kebutuhan keluarga. Saat itu jalan yang banyak di pilih oleh sebagian besar
kepala keluarga ialah mengadu nasib di Perseroan Terbatas (PT) untuk sekedar bekerja
sebagai kuli kasar pemotong kayu, pengangkut kayu bahkan sekedar menjadi mandor
di perusahaan di luar kota. Saat itu aku tak begitu mengerti susah dan peritnya
kehidupan. Yang ku tahu aku Bahagia, setiap hari Bersama orang-orang yang
kusayang dan selalu merasakan nikmatnya masakan ibu di balut kebersamaan. Saat itu
juga tak pernah terpikir aku akan beranjak dewasa dan menggantikan posisi
mereka suatu saat nanti. Hari-hari ku sejatinya penuh keriangan, canda dan tawa
yang selalu mengganggu tidurku. Seolah-olah malam adalah waktu pengganggu untuk
aku terus bereksplorasi Bersama alam yang seakan selalu membahagiakan tuk ku
jadikan tempat berpijak dan belajar.
Rasanya ingin ku mengulang kehidupan kecilku yang
selalu Bahagia tanpa ada beban yang bearti. Berharap kehidupan itu seakan tanpa
onak dan duri. Saat di mana aku hanya punya satu tujuan yakni bagaiman hari
esok aku Bahagia bermain berlarian Bersama teman-teman walau hanya sekedar
bermain panjat pohon, kejar capung, hingga bergumal dengan lumpur untuk sedikit
jika rejeki berpihak dapat mengumpulkan sedikit tangkapan ikan. Rasanya membayangkan
masa itu akan sangat menyenangkan di tengah kesibukanku saat ini dengan segala
kompleksitas masalah yang terkadang bercelaru dan menyesakkan alam pikirku. Hingga
tersadar aku tak lagi di fase ini. Sekarang fasenye sudah jauh berbeda. Aku telah
berumur, banyak target yang meski ku selesaikan. Aku sungguh sangat harus
berkutat dengan segala target yang meski perlahan harus juga ku rasa. Ada kalanya
kita Bahagia dan ada kalanya kita harus berjuang untuk mencapai titik di mana
kita merasa berada di puncak.
Kasih sayang yang tercurah padaku menjadikanku tumbuh
menjadi anak yang keras kepala dan selalu sedikit egois. Bahkan hingga aku
dikarunia adik pun tingkah pola ku tak mencerminkan seorang kakak yang baik. Bicara
dan tingkah laku ku kasar pada mereka. Hingga tak jarang ibu menitikkan air
mata saat aku dengan lantang membentak adik-adikku. Meski terkadang sedikit
terbesit di hati kecil tak ingin melukai hati ibu, tetapi terkadang saat hati
mulai kesal sontak nada tinggi ku kembali mengalun di langit dengan lantangnya
tanpa peduli sebelumnya aku telah membuat hati malaikat tak bersayapku
berkecamuk. Ayah yang merupakan sosok laki-laki yang selalu menunjukkan sikap santun,
ramah-tamah, dan pemaaf tak pelak menjadi tokoh yang mampu menginspirasi saat
itu. Aku masih tetap menjadi pribadi yang susah di atur.
Tidak seperti anak-anak yang tumbuh dan berkembang di
kota besar dan modern, kehidupanku di dusun yang jauh dari hiruk-pikuk
keramaian, dimana malam sunyi hanya di temani suluh dari lampu minyak dan suara
jangkrik yang sahut-sahutan masih jauh dari perkembangan teknologi. Jangankan
teknologi jalanan yang menjadi akses penghubung antar dusun kami ke dusun tetangga
saja harus di lalui hanya dengan jalan tikus di antara semak ilalang. Jauh dari
kata internet, ponsel saja masih menggunakan ponsel berkabel ber antenna menjulang
tinggi. Pun yang memiliki ponsel saat itu tergolong masyarakat ekonomi ke atas.
Dengan kata lain dunia kecilku tak kenal segala jenis gadget, aliran listrik
belum tersedia, jalan pun masih sangat memprihatinkan kondisinya. Tapi aku
cukup Bahagia bereksplorasi bebas dengan alam, lingkungan dan juga kehidupan masyarakat
antar satu wilayah ke wilayah lain. Ya maklum saja sebagai orang melarat ke
atas hidup itu tak bisa hanya satu tempat. Perlu perjuangan untuk memutuskan
dimana sejatinya rejeki keluarga kami tersedia serta memadai untuk kami terus
bertahan hidup.
Kondisi pemukiman nun jauh di perkampungan tak pelak
begitu saja menguntungkan untuk kami para generasi muda. Banyak diantara
kalangan pemuda yang meski banting tulang ikut andil berjuang demi terisinya
kampung tengah keluarga. Hingga beberapa dari teman sebaya ku harus terjun selayaknya
orang dewasa. Akupun tak mau ketinggalan ikut andil meski tak sepenuhnya, aku
turut ikut bekerja ke ladang merasakan
bagaimana sensasi menjadi seorang petani sesekali jika ada waktu senggang
akupun juga ikut merasakan sensasi menjadi nelayan. Semua saya jalani dengan
ikhlas sebagai suatu proses pembelajaran. Hingga suatu ketika tertanam dalam
alam sadarku untuk terus mengembangkan potensi diri melalui jenjang Pendidikan.
Menjadi petani, nelayan, kuli, atau apapun pekerjaan yang ditekuni akan terasa
sangat menyenangkan saat hati Bahagia menjalani. Tetapi akan lebih Bahagia apabila
seorang insan mampu berusaha dengan sangat keras hingga ia pantas memperoleh
suatu pencapaian yang luar biasa dari suatu usahanya.
Tak sampai di permasalahan ekonomi yang menjadikan hampir
sahabat ku memutuskan mengakhiri bangku sekolah dan memilih bekerja, kebudayaan
yang selalu menjurus ke penanaman pemahaman bahwasanya menuntut ilmu itu hanya
menghabiskan uang dan waktu saja. Toh banyak orang yang hanya menjadi TKI di
luar sana bisa lebih cepat sukses dan berguna juga untuk keluarga. Sementara mereka
yang bersekolah juga tak bisa menjamin kesuksesan di masa mendatang. Karena itu,
banyak orangtua yang setengah memaksa denga segala dalih agar anaknya
meninggalkan bangku sekolah dan bekerja. Sangat memprihatinkan apabila melihat
mereka yang seusia harus meski belajar meski harus bekerja dan memikul beban pikiran
yang mungkin belum waktunya tuk mereka pikul. Tak heran jika suatu waktu
mungkin karena ketidaktahuan mencerna titik permasalahan banyak ditemukan anak
yang kurang menghargai jerih payah orangtua serta apatis dalam bertindak. Memang
sejatinya anak yang bersekolah juga tak menjamin pasti menjadi pandai. Tetapi proses
belajar akan sangat bearti apabila tetap berada di koridor yang benar yakni melalui
proses belajar.
Sebagai seorang pemuda layaknya aku juga tak menutup
diri untuk bergaul hampir di semua kalangan. Mulai dari ibu-ibu kelompok olahraga,
pemuda desa hingga ikut menjadi biduan di salah satu band yang ada di dusun ku.
Proses pencarian jati diri juga kian memuncak, semua pilihan ku meski diberikan
persetujuan oleh pihak keluarga. Tak heran batinku sering berontak saat apa
yang menjadi keinginan ku terkadang di bantah dan ditolak sepihak oleh
keluarga. Saat itu yang ku tahu hanya aku ingin merasakan apa pun yang ingin ku
kerjakan. Yang lain aku tak pernah ingin tahu sedikitpun atas pertimbangan apa keinginanku
di tolak. Hingga suatu hari setelah ikut menjadi biduan band di dusun keesokan
harinya aku dan kawan-kawan harus di panggil oleh guru di sekolah untuk
dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kami lakukan saat malam harinya. Dengan
nada setengah kesal juga tak mau tau karna aku dan kawan-kawan berpikir apa
yang kami lakukan saat mentas juga masih wajar. Tak ada yang salah dengan
tingkah kami.
Hari-hari yang kulalui berjalan lambat dengan ritme
yang terkadang seirama atau bahkan membosankan. Hingga pada suatu hari saat
sepulang sekolah di rumah kedatangan kakak sepupu yang baru saja tiba dari kediaman
nenek. Wajahnya sendu dengan suara berat ia mulai terbata-bata menyampaikan berita
yang tak ingin ku dengar waktu itu. Aku tak mengerti Bahasa halus yang seolah ingin
di buat baik-baik saja. Ia dengan sangat hati-hati menata pilihan kata apa yang
hendak ia sampaikan. Berat namun harus juga disampaikan. “Nenek telah pulang” aku
masih tidak mengerti Bahasa apa yang ingin dia sampaikan. Jika sekedar nenek
pulang dari satu tempat ke tempat lain kenapa harus seberat itu riak wajahnya. Bapak
yang mendengar kabar itu setengah berat menerima berita yang disampaikan. Wajahnya
mulai memelas, meski tak sontak kulihat mengalir permata dari matanya. Tetapi ia
mulai cemas dengan nafas yang memburu. Seketika setelah itu Bapak pun
mengabarkan padaku kita akan segera bersiap-siap untuk segera bertemu nenek. Aku
Bahagia, setengah jingkrak aku kegirangan ingin sekali aku memeluk nenek
secepatnya. Bapak seketika buncah pertahanannya. Dia menangis sejadi-jadinya
melihat tingkahku. Aku lunglai sungguh tak mampu memahami apa yang sebenarnya
terjadi.
Langkah ku penuh tanda tanya. Sepanjang menyusuri
jalan berpasir yang terkadang tak mungkin di lalui sepeda butut mengharuskan
kami untuk berjalan. Sesampainya di kediaman di mana tempat nenek pulang yang
di maksudkan aku melihat suasana yang tak biasa di rumah yang sedang kami tuju.
Banyak orang berkumpul di sana, juga kerabat dekat dan jauh hadir juga di sana.
Seketika sesampai di rumah, mataku tertuju mencari-cari di mana gerangan nenek
yang sangat kurindu. Tapi tak ada sosok itu, sosok yang senantiasa menunggu di
depan pintu saat aku tiba dan beranjak pergi. Aku mulai cemas, menghitung ada
apa yang terjadi. Sontak aku terhenti di sebuah ruangan di mana orang sedang membacakan
ayat suci al-qur’an. Di situ ku temui sosok yang tak asing bagiku dialah nenek
ku yang tersayang. Aku tertegun, ingin sekali aku menangis, teriak, mengeluarkan
kekesalan ku atas perginya orang yang selalu menyemangati dan menenangkanku. Ku
peluk erat perlahan jasad yang terbujur kaku tak bisa lagi untuk sekedar tersenyum
padaku. Selamat jalan nenek semoga saat waktu ku habis nanti bisa berkumpul
lagi di surga. Saat ini cucu kecil mu sedang berjuang mengukir senyum tertunda
yang selalu engkau alun-alunkan di setiap doa dan harapan mu yakni ingin
melihat kami para cucumu sukses mengenyam Pendidikan tinggi. Salam sayang penuh
cinta dari kami cucu mu.
0 Response to "Simponi Masa Kecil"
Posting Komentar